Regu Elang, Kebanggaanku!
“Hemm….sungguh bumi perkemahan yang sangat menakjubkan”, gumamku dalam
hati. Yah…ini memang pengalaman pertamaku mengikuti perkemahan meskipun hanya
tingkat rantang…eh..salah…maksud ku tingkat ranting atau yg lebih populer yaitu
tingkat kecamatan.
Aku adalah seorang siswa kelas 4 di sebuah sekolah dasar kecil di tepi
Gunung Bromo Kab. Probolinggo. Sekolahku terbilang sekolah yang sangat
sederhana, jauh dari keramaian kota, dan jika dibandingkan dengan sekolah di
kota sangat jauh perbedaannya. Kalau di sekolah kota, yang ku tahu papan
tulisnya tidak lagi berwarna hitam, tapi putih dan mengkilap. Untuk menulisnya
juga tidak perlu kapur tulis, Cuma butuh benda semacam spidol tapi ukurannya
lebih besar. Nah, kalau di sekolahku, papannya masih papan hitam yang sudah
lama tidak diganti hingga berubah jadi abu-abu. Saat menulis, teman-temanku
sering bersin-bersin karena harus menghirup debu kapur tulis yang turun deras
bagaikan hujan salju itu. Yang beda lagi antara sekolahku dengan sekolah di
kota adalah bukunya. Kalau murid-murid di kota, bukunya bagus, gambarnya juga
lucu, mungkin jika aku punya buku seperti itu, aku akan lebih semangat
belajarnya. Sedangkan di sekolahku, aku dan teman-temanku dapat mencicipi bangku
sekolah saja sudah sangat bersyukur tanpa ingin menuntut buku bagus, sepatu
bagus, atau tas yang gambarnya lucu. Wah…..jadi nglantur ya ceritanya….apapun
yang terjadi, sekolahku adalah kebanggaanku, guruku adalah idolaku, dan
teman-temanku semua di sekolah ini adalah saudaraku.
Priiitt…priiit…priittt….!!!!!
Wah…peluit sudah dibunyikan tiga kali, artinya kami semua harus berkumpul
dan membentuk barisan di lapangan.
“Ayo….Bintang!!!! slayer merah putihmu belum terpakai!” teriakku sambil
berlari mengejar Bintang.
“Waduh….alamaaaak!!!! kenapa aku bisa lupa? Terima kasih ya, Gar!”
Yah..nama pemberian ayah dan ibu ku adalah Tegar Ramadhan. Tepat dugaan
anda, aku lahir di bulan Ramadhan dan aku berasal dari keluarga yang sangat
sederhana. Ayah dan ibu ku berharap aku menjadi anak yang kuat dan berjuang
demi keluarga. Oleh karena itulah aku diberi nama Tegar Ramadhan.
“Siap…grak!!!!” pemimpin reguku, Gilang membuyarkan lamunanku dengan
suaranya yang menggelegar itu. Kalau saja hari ini ada halilintar yang lewat,
mungkin halilintar itu kalah telak dengan suara pinru (pemimpin regu) dari SDN
Pandanwangi itu.
Karena bakat yang dimiliki melalui suara menggelegar itu, Gilang akhirnya
terpilih menjadi pemimpin dalam upacara pembukaan Perjusami tingkat ranting
sore hari nati.
Setelah pembagian jadwal dan sedikit pengarahan dari kakak-kakak panitia,
kami seluruh peserta perjusami dipersilahkan bubar dan melakukan kegiatan
berikutnya, yaitu mendirikan tenda dan menyiapkan perlengkapan yang digunakan
untuk kegiatan berikutnya.
Aku tergabung dalam regu Elang bersama 9 orang teman yang lain. Yang
menjadi pemimpin regu adalah Gilang, dilanjutkan Bintang, Eman, Ali, Amir,
Badar, Harun, Zakaria, Errik, dan yang terakhir adalah aku, Tegar sebagai
wapinru. Bangga juga jadi asistennya kak Gilang. Tapi, jika kalian tahu alasan
mengapa aku yang dipilih jadi wapinru, pasti kalian akan menertawakan aku. Aku
adalah anggota paling muda dalam reguku. Anggota yang lain sudah berada di
bangku kelas 5 dan 6, sedangkan aku adalah satu-satunya siswa kelas 4 dan
memiliki tubuh yang berperawakan paling kecil. Dalam barisan pun aku bersandar
diurutan paling belakang. Nah…wapinru biasanya berada diurutan paling bungsu.
Jadilah aku sang wapinru. Meskipun karena tubuh kecil aku jadi wapinru, kata
kak Gilang aku bisa diandalkan untuk jadi wapinru.
Hari pertama dalam acara perkemahan ini begitu padat dengan berbagai
kegiatan. Mulai dari cerdas cermat hingga praktik tentang balut-membalut luka
dan patah tulang. Kami bersepuluh sudah membagi tugas sejak sebelum berangkat
ke bumi perkemahan ini. Jadi, syukurlah….untuk hari pertama, sukses!!!
“Capeknyooo hari ini……”, keluh Bintang sambil merebahkan tubuhnya di
permadani hijau yang sedikit basah terkena embun.
“Hei, Bintang! Ayo cepat masuk tenda! Bisa membeku kau kalau tidur di
sana!” ajak kak Gilang.
Apel malam, sudah. Sekarang waktunya membiarkan akal dan pikiran kami
dikendalikan oleh alam mimpi. Setelah melalui hari ini dengan peluh dan kerja
keras, badan sedikit kehilangan tenaga. Sebentar saja menempelkan badan di
tikar, sudah hilang lenyap semua manusia-manusia dalam tenda ini. Yang
terdengar hanya dengkuran yang bersahut-sahutan.
Plakkk…plakkk…plakkk….bergantian suara itu yang akhirnya berhasil membuatku
terbangun. Ku melihat ada hewan kecil sedang menikmati tubuh kekar kak gilang.
Tepat di dahinya. Tak terima temanku dihisap darahnya oleh makhluk kecil ini,
akhirnya tanganku ku layangkan dengan sekuat tenaga ke sasaran. Plakkkkkk…….!!!
Dan spontan kak Gilang bangun dan melayangkan pula pukulan yang sama ke sebelahnya.
Plakkk.....Plakkkk….Plakkkk….Plakkkk…..dan akhirnya kami bersepuluh bangun
karena pukulan beruntun itu.
“Hwkwkwkwkwk….!” Aku tertawa cekikikan.
“Apa-apaan kau, Lang! Kau pukul jidatku ini!”, gerutu kak Bintang.
“Maaf, Kak! Aku yang jadi pelopornya tadi”, aku mengaku sambil meringis.
“Untuk menebus kesalahanku, aku buatin obat nyamuk deh! Biar nyenyak tidur
kalian malam ini!”
“Baguslah! Untung adek kita yang satu ini cerdas!”, kata kak Eman sambil
kembali memejamkan matanya.
Aku keluar tenda. Mencari bahan yang akan ku pakai untuk membuat obat
nyamuk sederhana. Aku teringat denga pelajaran IPA yang pernah ku baca di
perpustakaan. Satu botol air mineral ukuran besar yang bekas ku potong jadi dua
bagian. Bagian yang digunakan adalah bagian bawah botol. Ku masukkan gula dan
ragi kemudian diaduk bersama air hangat. Selanjutnya, plastik hitam
diselimutkan pada bagian luar tempat tersebut. Agar tidak lepas, sebuah karet
gelang berhasil melilit tubuh botol dan plastinya. Sudah jadi, deh! Obat nyamuk
sederhana ala Tegar! Selanjutnya, obat nyamuk itu diletakkan di tempat yang
banyak nyamuknya. Bau menyengat dari larutan yang sudah dibuat serta warna
hitam dari plastic akan menarik perhatian nyamuk untuk mendekatinya. Setelah
dekat dan masuk, nyamuk akan mabuk dengan bau menyengat itu, akhirnya tercebur
ke dalam botol dan mati.
“Tugas sudah selesai!”, teriakku dalam hati. Aku tersenyum puas dan
merapatkan sarungku untuk menyambut kembali alam mimpi yang sempat terserak
tadi.
Matahari belum muncul, tapi kami semua penghuni buper (bumi perkemahan)
sudah dibunyikan kentongan agar segera bangu dan menunaikan shalat subuh
berjamaah.
Aku merasa tubuhku bergoyang-goyang. Tiba-tiba aku tersentak dan
membelalakkan mataku karena ada hujan deras yang masuk ke tendaku yang membuat
wajahku dingin dan basah.
“Hujan…hujan….bocor..bocor!”, teriakku tanpa sadar.
Setelah mataku sudah benar-benar terbuka, kulihat di sekelilingku berdiri 9
raksasa.
“Macam mana kamu ini, Gar! Mana ada hujan…..! Kamu dari tadi tak
bangun-bangun, ya terpaksa kami siram muka kau dengan air bekas cucian beras!
Ha…ha…ha….!”
Ku dengar mereka bersembilan tertawa puas. Aku keluar tenda sambil
membetulkan wajah yang malu bercampur sebel.
Sholat subuh sudah, senam sudah, masak juga sudah, sekarang waktunya
bersiap untuk jelajah desa. Kita bersepuluh telah berpakaian pramuka lengkap
dengan tongkat di tangan, baret di kepala yang membuat kami seperti pasukan TNI
yang akan berperang…he…he…he.
Kak Gilang sudah menyiapkan bekal di tas ransel besar untuk perjalanan
nanti. Aku bertugas menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk jelajah desa
nanti.
Pritt…prit…prit…. Peluit telah ditiup dan semua pramuka penggalang berlari
berhamburan ke tengah lapangan untuk menerima instruksi dari kakak Pembina.
Masing-masing pinru menerima peta yang harus dilewati untuk jelajah desa kali
ini. Sepertinya penjelajahan kali ini akan seru. Setiap regu punya rute yang
berbeda. Meskipun ada yang sama, jarak regu dibuat sangat jauh. Setelah
memberikan pengarahan untuk kegiatan hari ini, kakak Pembina memberangkatkan
satu persatu dari kami. Dan tibalah regu Elang memulai perjalanan.
Kami begitu bersemangat. Di sepanjang jalan tak henti-hentinya kami
menyanyikan lagu-lagu pramuka dan tak henti-hentinya pula mulut kami mengunyah
makanan, maklum regu Elang ini termasuk regu yang rakus…he…he…he.
“Eits…tunggu! Kita berhenti dulu. Teman-teman, kenapa kita jadi masuk ke
hutan seperti ini?”, kata Kak Gilang.
“Iya! Apa ada tanda yang terlewat karena terlalu asyik bernyanyi tadi, ya?”
“Menurut peta ini, kita ke arah yang benar, Kak! Mungkin memang sengaja
dibuat seperti petualangan”, sahutku.
Tiba-tiba kami semua mendengar suara aneh. Kami saling berpandangan dan
berusaha memastikan dari mana asal suara itu.
“Tolong….tolong….!”
“Hei, kawan! Ada di sini!”, Kak Gilang berteriak dan kami semua berlari
menghampirinya. Sejenak masalah rute terlupakan. Suara itu menyedot perhatian
kami.
“Bapak ini sepertinya terjatuh, mungkin saat mencari kayu! Ayo, bagaimana
ini? Tegar, alat apa tadi yang kamu bawa?”
“Aku bawa P3K tadi kak, tapi tak ada mitela buat tulang yang patah itu!”
“Ali, Amir, buat tandu! Cepat! Badar, cari kayu yang agak besar buat
penyangganya! Tegar, bantu aku membersihkan darah di sekeliling lukanya!”
Aku gemetaran. Ini yang pertama menangani korban yang parah begini. Wajah
bapak itu pucat, mungkin karena kehilangan banyak darah. Kasihan sekali!
“Tandu selesai!”, teriak Amir dan Ali
“Kawan, relakan slayer kalian untuk pengikat kayunya!”
Kak Gilang begitu cekatan mengikat kayu di kaki bapak itu. Rupanya tulang
keringnya patah dan harus dibidai dan kayu besar itu penggantinya. Kak Amir,
Kak Ali, Kak Badar, dan Kak Gilang bersiap di sisi tandu. Kami berlima
membopong bapak itu naek ke tandu. Kami bersepuluh sepakat melupakan jelajah
desa itu. Kami bersepuluh berbalik arah dan mencari Puskesmas terdekat untuk
menyelamatkan bapak tersebut. Setelah mengantar bapak tersebut, kami sudah
memutuskan untuk kembali ke arena perkemahan dan tidak melanjutkan perjalanan.
Kami sudah siap menerima hukumannya.
Dan kisahku itu berakhir dengan cerita bahagia. Karena apa yang kita
lakukan itu, kami dinobatkan sebagai regu tergiat I dan kami berhasil pulang
dengan piala ditangan. Terima kasih regu Elang, kamu telah membuatku bangga dan
mengajarkan pramuka yang sejati.
ConversionConversion EmoticonEmoticon